Label

Sabtu, 30 Oktober 2010

Bahasa DIRI sebagai Pesan DIRI


Eyang: “Elmo, Tolong taruh pisau itu dimeja, nanti jarimu kepotong!”
Elmo: “Enggak Eyang, elmo tidak kepotong”
Sang eyangpun mulai marah dan nada suarapun dinaikan. ”pasti jarimu kepotong nanti…”
Elmo juga lebih marah lagi, “enggak,”! Sambil mempertahankan pisau dengan lebih mendekatkan pisau ketubuhnya.

Dialog diatas adalah dialog antara Eyang dan cucunya. Sang Eyang merasa khawir kalo-kalo pisau yang dipegang cucunya untuk mengupas mangga akan mengenai tangannya. Maka sang eyang dengan bahasa Diri (I Message) mencoba untuk memberi tahu bahwa pisau itu berbahaya dan bisa melukai dirinya (Elmo).

Coba kita perhatikan: pesan kamu (you message) dari sang Eyang selalu cenderung menyalahkan orang yang kita ajak bicara. Benarkah??
Pesan yang hendak disampaikan sang Eyang sangat lah baik namun bahasa yang digunakan justru membuat sang cucu melawan dan memberontak dengan mempertahankan diri dengan sekuat tenaga.

Kenapa?? Karena pesan yang hendak disampaikan tidak sampai, justru yang diterima adalah menyalahkan dan menghakimi. Coba kalo kita ganti dengan kalimat: ”saya lihat kamu pegang pisau buah yang tajam, eyang takut pisau itu akan memotong jarimu”...apa ekspresi yang terjadi Pada Elmo?? Dia akan nampak tidak semarah sebelumnya, bahkan ia akan memandang mata Eyang dan berkata dengan tenang: ”Ah itu Eyang saja yang pencemas”.. kemudian Eyang mengambil pisau ditanganya tanpa perlawanan keras. Elmo lakukan tanpa merasa kehilangan harga dirinya.
Sebenarnya Eyang mengambil pisau tersebut dalam rangka mengatasai ”kecemasan” dirinya. Berarti siapakah yang bermasalah?? yang bermasalah adalah dirinya..

Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa ”kecemasan” kitalah yang membuat kita berbuat seakan otoritas menjadi milik kita. Sehingga kita lupa bahwa pesan diri kita (I message) cenderung menyalahkan orang lain. Walaupun pesan kita berniat baik tapi jika hal tersebut yang terjadi bukan perubahan. Melainkan keadaan akan terbalik.. runyam-runyam lah suasana karena pesan kita.

”Pesan diri” pada situasi sosial bila tujuan utama kita adalah ”memberi tahu” bahwa kita sedang marah, tidak setuju dan sebagainya perlu kesadaran pola komunikasi yang lebih baik.
Pesan moral yang tersimpan adalah mengubah pola perilaku kita dalam relasi yang penting. Untuk itu kita perlu mengembangkan kepekaan terhadap diri kita sendiri sehingga kepekaan itu akan terbawa kepada hubungan kita kepada semua relasi. Kita akan mampu menterjemahkan kemampuan kita kedalam kondisi yang lebih jelas, tidak menggunakan pernyataan yang cenderung menyalahkan diri atau menyalahkan orang lain.

Coba kita tarik keranah atau ruang kita sering bergerombol selama ini. Kita akan berbicara dalam sebuah organisasi yang mengenal adanya Senioritas. Terkadang otoritas senior tidak pernah memperhatikan pesan diri yang hendak disampaikan kepada Juniornya. Sehingga yang terjadi adalah miscomunication pesan yang disampaika Senior. Karena apa? Karena otoritas senior yang sering membuat mereka lupa bahasa ”pesan diri” yang disampaikan tidaklah tepat. Justru melukai hati dan harga diri para Junior. Benarkah? Mari kita lihat ....

Pada suatu hari sang senior bertemu dengan juniornya. Dan berkata ”kamu sebagai salah satu angggota (baca: Pengurus) tidak pernah kelihatan, aktif ke.... biar bisa mengembangkan organisasi dan jadi contoh adik-adikmu”
Apa yang terjadi?? Sang Junior merasa harga dirinya hilang dan terlukalah hatinya. Sehingga hingga kini Junior tersebut malah tidak pernah kelihatan  lagi ngantor disekretariatnya. Karena apa Junior merasa muak dengan seniornya. Hanya karena bahasa yang disampaikan tidaklah tepat pada kondisi situasi dan psikologi yang diberipesan. Siapa yang salah???

Bisakah kita belajar dan berlatih komunikasi dengan gaya personal kita saat mengungkap pesan ”Diri Saya”.

SERAT ”BIMA BUNGKUS” KARANGAN TJAN TJU AN (Pencitraan Bima terhadap budaya jawa)


Cerita tentang Bima sebagai seorang kesatria yang gagah perkasa telah terkenal dari zaman-kezaman. Kebudayaan jawa sendiri dalam perkembanganya banyak mendapat pengaruh dari luar. Dan pengaruh itu telah memberikan corak dan sifatnya sendiri-sendiri yang khusus untuk suatu masa. Berdasarkan peninggalan yang ada, khususnya yang berupa tulisan.
Sejarah kebudayaan jawa dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu zaman jawa kuno dan zaman jawa baru. Zaman jawa kuno adalah masa dipakainya bahasa jawa kuna sebagai bahasa resmi dan penyampaian pemikiran dan ide-ide pada masa itu. Zaman jawa baru, berdasarkan analogi dari definisi jawa kuno, adalah  masa dipakainya bahasa Jawa baru sebagai pengantar pemikiran-pemikiran. Masa ini adalah masa ketika tulisan jawa baru dikembangkan. Zaman jawa baru berlangsung bersamaan dengan zaman kerajaan Majapahit akhir dan ditandai dengan meluasnya penyebaran agama Islam.
Sejarah kebudayaan sendiri tidak terlepas dari sejarah politik, karena pada umumnya pusat kekuasaan politik memberi arah dan pengembangan sarana kebudayaan. Pusat kekuasaan politik pada umumnya sekaligus merupakan pusat pengembangan kebudayaan. Dikerajaan juga terdapat pusat-pusat kegiatan keagamaan yang pandangan religiusnya mengilhami sejumlah karya seni. Bima sendiri sebagai salah satu tokoh yang terdapat dalam pewayangan banyak cerita yang terdapat dalam serat jawa (dalam bentuk puisi) yang isinya menceritakan tokoh Bima tersebut.
Disamping itu tokoh ini telah menjadi maskot sebuah idialisme seorang ksatria yang mumpuni. Budaya jawa sendiri telah banyak terilhami dari tokoh Bima tersebut. Ini terbuktikan dengan banyaknya cerita yang dikarang oleh sesepuh pada masa dulu.

           Serat  ”Bima Bungkus” Dalam Puisi
Serat Bima Bungkus dikarang oleh Tjan Tju An, di Surakarta pada tahun 1867 J/1936 M. Yang tersusun dalam bentuk puisi, yang ringkas ceritanya sebagai berikut:
Anak Pandu dan Kunti lahir dalam bungkus dibuang kehutan krendawahana, karena tidak ada senjata yang mampu membuka bungkus tersebut. Destarata menyuruh para kurawa untuk memusnahkanya dengan cara berpura-pura membantu membuka bungkus tersebut, namun tidak berhasil.
Dipertapaan Rahtawu Bagawan Abiyasa mendapat pertanyaan dari cucunya. Raden Premadi yang menanyakan keadaan kakaknya yang terlahir  dalam bungkus. Yang telah beberapa tahun belum dapat dibuka. Abiyasa mengatakan kepada Arjuna bahwa saudaranya sedang menjalani karma, ia akan lahir menajadi satria utama, dan akan mendapat wahyu jati.
Keadaan tersebut menyebabkan kegoncangan didunia yang sampai terasa di Kahyangan. Untuk menghentikanya Batara Guru menyuruh Gajahsena (anaknya yang berupa gajah) memecah bungkus tersebut. Serta memerintah Dewi Umayi untuk memberinya teman berupa empat macam warna yang akan melindunginya. Juga memberikan ajaran tujuh macam hubungan antara manusia dan Tuhan. Serta diberitahukanya bahwa sekarang ia dalam taraf martabat Akhadiyat artinya pada tingkat pertama. Masih jauh perjalananya menuju martabat insan kamil  yang merupakan tingkatan manusia sempurna. Dalam perjalannya ia melalui martabat terakhir (martabat wuntat) yaitu permulaan menjadi benih manusia. Pada martabat akhadiyat ia diberi nafsu mutmainah yang berwarna putih, ketika mulai berkembang ia mendapat nafsu supiah yang berwarna kuning. Selanjutnya diberi nafsu amarah yang berwarna merah. Ketika memasuki alam jizim  (alam jazad) ia telah memiliki wujud jasmaniyah. Karenanaya memiliki keinginan makan minum dan bersenggama tidak berbeda dengan hewan.
Bedanya, ia akan diberi budi luhur, namun bila ia menolaknya ia tidak dapat masuk surga, ia akan mengembara pada akyan sabiyah. Ketika telah berada dalam alam misal diberi nafsu aluamah. Kemudian akan melalui alam arwah karena telah dimasuki roh. Ada sembilan macam roh yang masuk, yaitu roh illapi, Robbani, rokhani, Nurani, Rohulkudus, Rahmani, Jasmani, Nabati Dan roh Rewani. Semua itu merupakan badan Hyang Guru yang menggerakakan tindakan manusia. Dalam alam kabir ia telah bersatu dengan sembilan roh (Hyang Guru), ia dipakai sebagai sarana (penampilan Hyang Guru) di Dunia.
Setelah selesai diberi ajaran, Dewi Uma memberinya busana berupa cawat kain bang bintulu berwarna merah, hitam, kuning, putih. Pupuk, samping, gelang, porong, dan kuku pancanaka. Kemudian Dewi Uma meminta diri dengan mengatakan bahwa sebenarnya ia telah menyatu dengan dirinya.
Gajahsena turun dari surga lalu membuka bungkus, kemudian bungkus pecah, karena terkejut keduanya kemudian berkelahi. Gajahsena dipegang oleh Bratasena dan dibantingnya. Jasadnya musnah namun roh hewaninya masuk kedalam dirinya.
Hyang Narada mengatakan bahwa ia adalah anak Pandu yang terlahir dalam bungkus. Kemudian beliau memberinya nama Bratasena dan diberitahu meskipun ia duduk dihadapan Batara Guru ia tetap tidak boleh duduk dibawah dan menyembah. Karena ia penjelmaan Hyang Maya dan disayangi Hyang Manon.
Penampilan Bratasena  terlihat menakutkan, tinggi besar dan gagah. Jika ia berbicara suaranya menggelegar seperti geledek dan kadang seperti singa kelaparan. Kemudian atas permintaan raja Tasikmadu Bratasena diminta mengalahkan raja raksasa Kala Dahana, patih Kala Bantala, Kala Maruta dan Senopati Kala Ranu. Setelah mereka dikalahkan, roh mereka masuk kedalam Bratasena. Dengan demikian sifat dan unsur alam yang empat yaitu: bumi, air, api  dan angin telah menyatu dalam dirinya.
Itulah sepenggal serat Bima Bungkus yang menceritakan proses kelahiran sosok bima. Dalam serta tersebut terdapat unsur-unsur jawa yang masuk kedalamnya. Hal ini merupakan akulturasi budaya, dengan melihat pada corak penampilan serat itu sendiri.

Analisis tentang tranformasi citra Bima dapat dilihat pada pembagian zaman budaya, terdapat pencitraan yang sama namun ada juga yang berubah.
a.       Pada zaman jawa kuna dengan latar belakang Hindu-Budha. Citra Bima sebagai pelindung keluarga, masyarakat, pemberani, tegas, bengis, dan menuruti nasehat keluarga.
b.      Pada zaman Jawa baru dengan latar belakang agama islam terdapat beberapa beberapa pencitraan. Diantaranya: citra yang berdasar karya sastra dan lakon-lakon wayang turunan Nawaruci (serat dewa ruci dan turunanya) adalah sebagai orang suci, insan kamil, pencari kekekalan hidup, penyebar agama islam, dan peruwat. Citra yang demikian tidak didukung oleh citra Bima pada ”boneka” wayang.