Eyang: “Elmo, Tolong taruh pisau itu dimeja, nanti jarimu kepotong!”
Elmo: “Enggak Eyang, elmo tidak kepotong”
Sang eyangpun mulai marah dan nada suarapun dinaikan. ”pasti jarimu kepotong nanti…”
Elmo juga lebih marah lagi, “enggak,”! Sambil mempertahankan pisau dengan lebih mendekatkan pisau ketubuhnya.
Dialog diatas adalah dialog antara Eyang dan cucunya. Sang Eyang merasa khawir kalo-kalo pisau yang dipegang cucunya untuk mengupas mangga akan mengenai tangannya. Maka sang eyang dengan bahasa Diri (I Message) mencoba untuk memberi tahu bahwa pisau itu berbahaya dan bisa melukai dirinya (Elmo).
Coba kita perhatikan: pesan kamu (you message) dari sang Eyang selalu cenderung menyalahkan orang yang kita ajak bicara. Benarkah??
Pesan yang hendak disampaikan sang Eyang sangat lah baik namun bahasa yang digunakan justru membuat sang cucu melawan dan memberontak dengan mempertahankan diri dengan sekuat tenaga.
Kenapa?? Karena pesan yang hendak disampaikan tidak sampai, justru yang diterima adalah menyalahkan dan menghakimi. Coba kalo kita ganti dengan kalimat: ”saya lihat kamu pegang pisau buah yang tajam, eyang takut pisau itu akan memotong jarimu”...apa ekspresi yang terjadi Pada Elmo?? Dia akan nampak tidak semarah sebelumnya, bahkan ia akan memandang mata Eyang dan berkata dengan tenang: ”Ah itu Eyang saja yang pencemas”.. kemudian Eyang mengambil pisau ditanganya tanpa perlawanan keras. Elmo lakukan tanpa merasa kehilangan harga dirinya.
Sebenarnya Eyang mengambil pisau tersebut dalam rangka mengatasai ”kecemasan” dirinya. Berarti siapakah yang bermasalah?? yang bermasalah adalah dirinya..
Dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa ”kecemasan” kitalah yang membuat kita berbuat seakan otoritas menjadi milik kita. Sehingga kita lupa bahwa pesan diri kita (I message) cenderung menyalahkan orang lain. Walaupun pesan kita berniat baik tapi jika hal tersebut yang terjadi bukan perubahan. Melainkan keadaan akan terbalik.. runyam-runyam lah suasana karena pesan kita.
”Pesan diri” pada situasi sosial bila tujuan utama kita adalah ”memberi tahu” bahwa kita sedang marah, tidak setuju dan sebagainya perlu kesadaran pola komunikasi yang lebih baik.
Pesan moral yang tersimpan adalah mengubah pola perilaku kita dalam relasi yang penting. Untuk itu kita perlu mengembangkan kepekaan terhadap diri kita sendiri sehingga kepekaan itu akan terbawa kepada hubungan kita kepada semua relasi. Kita akan mampu menterjemahkan kemampuan kita kedalam kondisi yang lebih jelas, tidak menggunakan pernyataan yang cenderung menyalahkan diri atau menyalahkan orang lain.
Pada suatu hari sang senior bertemu dengan juniornya. Dan berkata ”kamu sebagai salah satu angggota (baca: Pengurus) tidak pernah kelihatan, aktif ke.... biar bisa mengembangkan organisasi dan jadi contoh adik-adikmu”
Apa yang terjadi?? Sang Junior merasa harga dirinya hilang dan terlukalah hatinya. Sehingga hingga kini Junior tersebut malah tidak pernah kelihatan lagi ngantor disekretariatnya. Karena apa Junior merasa muak dengan seniornya. Hanya karena bahasa yang disampaikan tidaklah tepat pada kondisi situasi dan psikologi yang diberipesan. Siapa yang salah???
Bisakah kita belajar dan berlatih komunikasi dengan gaya personal kita saat mengungkap pesan ”Diri Saya”.