Jargon mahasiswa sebagai agent of chage seakan melepuh pasca terjadinya gelombang reformasi. Disorientasi gerakan ini pada dasarnya diawali oleh hilangnya tokoh-tokoh muda yang masuk dalam lingkungan politik praktis dan kurangnya pengkaderan dalam tiap-tiap organisasi aktifis. Kegalauan yang sudah berlangsung lama pasca terjadinya gerakan reformasi ini diperparah dengan masuknya budaya-budaya pop yang tidak dapat discounter oleh kalangan muda, hingga kini masih menjadi polemik berkepanjangan bagi kalangan aktifis baik itu intra maupun ekstra kampus.
Mengutip perkataan Grahmci bahwa manusia terpelajar (mahasiswa) seharusnya menjadi “organic intelectual” yang mampu melebur dalam peperangan zaman dan masyarakat. Idealisme dalam kampus harus dibangun sebagai bagunan yang mampu menterjemahkan realitas kekinian. Konstruk yang dibangun seharusnya tidak atau bukan bersifat instan serta menghilangkan proses-proses pendewasaan dan pembentukan karakter bagi mahasiswa. Sehingga mahasiswa tidak gagap ketika terjun dalam dunia masyarakat.
Demikian pula kegelisahan Soe Hoek Gie pasca pelengseran rezim Soekarno, banyak kawan-kawan seperjuanganya yang kemudian lupa pada komitemen awal setelah mereka duduk dikursi jabatan. Sehingga Gie menyebut mereka sebagai penghianat intelektual. Kegelisahan Gie ini mungkin masih berujung hingga saat ini. Budaya pop dan pragmatis memang telah merambah kaum intelektual kita saat ini. Idealisme hanya sebatas slogan kosong, karena tidak mampunya kita menterjemahkan dalam wacana yang realistis. Budaya-budaya popular tersebut nampaknya lebih menarik dan mempunyai bargaining ketimbang membangun idealisme gerakan dan kedewasaan berfikir gerakan.
Politik kampuspun sudah dikotori dengan nilai-nilai pragmatisme serta unsur golongan yang terlihat sangat kental. Dimana mayoritas akan menjadi dominasi dan menghegemoni minoritas. Sehingga politik yang berkembang terasa kurang affair terhadap nilai-nilai humanisasi dan tujuan politik kampus itu sendiri. Politik kampus belum mampu membangun kedewasaan politik. Bahkan masyarakat kampus cenderung apatis. Pertanyaanya adalah kenapa demikian? Mungkin jawabanya ialah kampus belum mampu membangun idealisme penghuninya. Jika dirunut kebelakang memang banyak factor yang mempengaruhi. Misalkan saja kebijakan akademis yang membatasi gerak dan kreatifitas mahasiswa, Ahistoris mahasiswa terhadap gerakan mahasiswa tempo doelu sebagai sarana kaca benggala untuk meletik semangat, Munculnya budaya popular dan prastice yang meningkatkan egosentris para mahasiswa. Disamping itu juga memang mahasiswa sendiri tidak dibekali nilai-nilai religiusitas dan intelectualitas yang sepadan dalam berpolitik dan sebagainya.
Kegamangan kaum muda (mahasiswa) ini melahirkan politik yang apatis terhadap nilai-nilai demokrasi. Arsitoteles memulai kajian politiknya dengan mengklaim bahwa “setiap kota adalah bentuk persekutuan ... untuk kepentingan kebaikan”. Kemudian ia menunjukkan bahwa beberapa keluarga menimbulkan desa, dan persekutuan antardesa menimbulkan kota. Oleh sebab itu, persekutuan yang menyusun kota memerlukan kesepakatan tertentu antara “orang-orang yang serupa, untuk kepentingan kehidupan yang merupakan kemungkinan terbaik”. Aristoteles tak pernah berpandangan bahwa sekutu-sekutu semacam itu harus sama dalam segala hal, tetapi bahwa baik kesatuan maupun keragaman harus eksis di antara sekutu-sekutu dalam berbagai hal: “kota cenderung menjadi ada pada suatu titik ketika persekutuan yang terbentuk oleh orang banyak itu swasembada”.
Aristoteles sebenarnya telah memberikan statemen dalam berpolitik, bahwa “swasembada” sebagai salah satu factor terbentuknya sebuah gedung politik yang utuh. Sehingga koloni-koloni aktifis yang tersebar dalam berbagai wadah dapat tertampung dan menciptakan keragaman yang eksis. Politik kampus harus bisa menjadi “Swasembada” penghuninya tanpa perlu dikotomi antara minoritas dan mayoritas.
Hilangnya Idiologi Kampus
Yang terparah sebenarnya ialah hilangnya idealisme para mahasiwa dan runtuhnya kreator muda. Racun-racun pemikir biasanya akan sangat cepat menyebar. Bak virus trojan yang mampu menembus dinding pertahanan komputer, walaupun CPU komputer telah diberi tameng anti virus ter Up date, tetap saja sang Trojan akan mampu menyusup dan merusak saraf-saraf file hingga sang empunya akan kebingungan karena tiba-tiba komputer kolaps, eror dan bahkan mati. Ia seperti candu. Sekali dilepas oleh sang pembuat Virus, ia akan sangat liar menyusup kemanapun ketempat yang ia singgahi. Membuat koloni-koloni baru hingga jutaan spesies baru yang masih bernama Trojan.
Sebut saja idealisme yang dibangun oleh Hitler, ia mampu membawa Jerman menguasai beberapa negara di dunia. Bukan hanya negara yang dikuasai tetapi idealismenya (pemikiranya tentang NAZI) mampu menghegemoni beberapa dekade. Soekarno mampu membangun idealis kenegaraanya dan mampu mengobarkan semangat kebangsaan rakyat. Ia mampu memjadi pelopor dengan melepaskan candu pikiranya sebagai virus yang membangun jiwa-jiwa rakyatnya. Lihat saja seorang GIE, sekalipun di tengah-tengah kegalauanya pada kawan-kawan seperjuangan ketika bersama-sama menumbangkan rezim Soekarno. Yang tiba-tiba berbalik arah dan kehilangan idealismenya sebagai kaum intelektual. Bahkan Gie menyebutnya sebagai penghianatan kaum intelektual saat itu. Gie masih tetap dan mampu berpegang teguh pada idealismenya meskipun sebagai resikonya ia ditinggalkan kawan-kawanya hingga ia hidup dalam “kesepian” dan ia akhirnya mencari kedamaian pada sosok edelweis di puncak gunung Mahameru.
Maksud tulisan saya adalah... saya sendiripun rindu pada sosok-sosok yang mampu memberikan candu-candu idealisme. Berbagi pikiran dibawah pohon-pohon rindang, berbagi satu gelas kopi dan sebatang rokok. Melemparkan ide-ide baru tentang apa saja yang ada di dunia ini. Mampu merengkuh dan merangkul siapa saja tanpa membedakan ia siapa, dari mana, dan seperti apa. Aku rindu sosok yang mampu memprovokasi dan membakar semangat idealisme. Mampu memberikan harmoni diantara nada-nada yang berbeda. Menjadi alunan harmoni yang cantik dan merdu.
Sayapun rindu pada kreator idealisme yang mampu mengejawantahkan ini dan itu. Saya rindu pada inspirator idealis yang mampu membuka zaman, pikiran dan realitas yang Mampu membuka idealitas diatas realitas yang berkembang tanpa melihat ini dan itu pula. Karena kerinduan saya pada hal itulah sehingga saya menulis catatan ini. Semoga ada yang mampu memberikan candu dan inspirasi baru bagi gerakan mahasiswa di Indonesia.
Perlunya Purifikasi Gerakan Mahasiswa.
Aktor intelektual yang masih konsisten terhadap perkembangan zaman dan idealisme gerakan sudah saatnya mampu mengeluarkan ijtihad baru bagi gerakan mahasiswa saat ini. Sehingga pergeseran paradigma gerakan akan cepat terjadi. Akselerasi kearah purifikasi harus didengungkan sebagai prioritas. Aktor-aktor muda harus berani menerobos sekat-sekat yang ada. Bila perlu dinding kampus di jebol sehingga tidak ada kelas yang memisahkan. Paling tidak kita mampu mengembalikan jargon bahwa mahasiswa adalah agen perubahan bukan agen kesiangan. Karena paradigma masyarakatpun sudah bergeser kearah yang apatis terhadap nama “mahasiswa”
Purifikasi gerakan politik mahasiswa ini bukan sekedar seremonial instan yang ruhnya ikut bubar ketika forum dibubarkan. Tetapi nilai responsibility terhadap predikat yang melekat pada dirinya sebagai mahasiswa tidak bias dan begitu saja dihianati. Seperti biasnya politik mahasiswa saat ini.
Disamping itu pula gerakan yang dibangun harus dikawal oleh para “senior”. Sehingga keterikatan emosional antara senior - junior akan tetap terbangun. Disamping itu, warna berfikir antara senior juniorpun akan sangat beragam. Sehingga jika ada yang mengawal warna-warna berfikir antara senior junior tersebut akan menjadi warna yang menarik karena sifat heterogenya. Karena kombinasi zaman itu perlu, sebagai jalan untuk mengejawantahkan idealisme ke dalam ranah realita kekinian. Itulah kenapa idealisme yang dibangun para kreator pendahulu mampu bertahan hingga berabad-abad lamanya. Sang guru mereka tetap mengawal meskipun jasad mereka tidak dipertemukan, tetapi ruh mereka (senior junior) tetap terhubung.
Semoga ruh gerakan kaum intellectual ini akan menemukan jalur “resminya” kembali. Atau paling tidak purifikasi gerakan politik mahasiswa menjadi icon yang harus kembali didengungkan di tiap-tiap kampus. Kampuspun tidak seperti pabrik lagi karena proses demokrasi dan politik kampus kembali mewarna.