A. LATAR BELAKANG MASALAH
Satjipto Rahardjo memberikan devinisi tentang Politik Hukum adalah, aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Sedangkan Padmo Wahjono disitir oleh Kotam Y. Stefanus mengemukakan Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai Hukum). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya. Indonesia pada dasarnya menganut pada konsep Negara hukum material yang tidak hanya menegakan hukum (undang-undang), tetapi juga menegakan keadilan berdasarkan pancasila sebagai the rule of law. .
UU No.7 tahun 2004 (pasal 9) tentang Sumber Daya Air, menyebutkan: “Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya”. Hal Ini dapat dipahami sebagai sarana privatisasi dan komersialisasi sektor air. Sehingga akan memberikan peluang hak guna air tersebut kepada perseorangan, badan usaha baik swasta maupun asing.
Dengan adanya hak guna air tersebut akan ada penguasaan terhadap air, kapitalisme, kemiskinan yang terstruktur dan rusaknya lingkungan hidup secara terstruktur. Penguasaan atas air akan menarik garis tegas antara yang memiliki dan yang tidak memiliki air sebagai dasar pembentukan pasar melalui perhitungan permintaan dan penawaran. Intinya adalah privatisasi merupkan solusi yang irasional. Hal inilah yang dikatakan Sonny Keraf sebagai faham manusia antroposentris, menganggap manusia sebagai sumber atau pusat dari system alam. Karena kepentingan dan kebutuhan manusia yang tidak terbatas inilah segala yang ada dibumi dianggap berhak untuk dieksploitasi sehingga terjadilah deep ecology (kerusakan Lingkungan). Sementara UU No. 11 tahun 1974 memberikan perlindungan hukum atas air (pasal 13) ayat 1 yang menyebutkan “Air, sumber-sumber air beserta bangunan-bangunan harus dilindungi dan diamankan, dipertahankan dan dijaga kelestarianya” .
Permasalahan selanjutnya adalah politik hukum yang berkembang di Indonesia khususnya Undang-Undang Sumber Daya Air ini bersifat konservatif, bukan aspiratif. Artinya politik hukum yang dipakai, mempunyai visi politik kekuasaan yang tidak aspiratif kepada kepentingan masyarakat. Justru ditengarai oleh adanya liberalisme yang menyusup kedalam penyusunan Undang-Undang tersebut. Disamping itu ada kejomplangan atau pertentangan antara UU No.7/2004, dengan UUD 45 pasal 33 ayat 3 dan UU No 11/1974 tentang pengairan.
Air adalah sesuatu yang sulit untuk disubtitusi. Air tetap saja memiliki tempat tertentu dalam siklus human needs, yang sulit untuk terganti. Air merupakan sesuatu yang vital bagi kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan akan air, adalah pemenuhan terhadap kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidup manusia, dan karena kebutuhan dasar merupakan Hak Asasi Manusia, maka pemenuhan kebutuhan akan air adalah pemenuhan atas hak asasi manusia.
Kesadaran akan hal ini, sejak awal telah diadopsi dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaanya dijamin konstitusi, yakni pada pasal 33 UUD 1945, ayat 3 yang berbunyi: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Dengan kata lain, sejak awal telah disadari perlunya penyediaan kebutuhan dasar, termasuk air, dijamin dalam konstitusi negara Indonesia, sebagai sebuah kontrak sosial antara pemerintah dan warganegara.
Air bukanlah komoditas yang dapat tumbuh dan berkembang, ia tidak sama dengan komoditas kekayaan yang lain. Sifatnya yang terbatas menjadikan air menjadi komoditi yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Seharusnya pula manusia dapat menempatkan posisinya secara proporsional dan menyadari lingkungan (air) yang diciptakan, dapat didayagunakan dengan arif dan konservatif.
B. Air Bagian Dari HAM
Air yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang mengandung suatu nilai universal, dimana kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang tidak boleh dilimitasi, dieleminir sebagian dan atau seluruhnya, hal kebutuhan tersebut juga sudah menjadi hak konstitusional setiap warga negara, yang bisa dirtikan bahwa keberadaan air bagi rakyat banyak tidak bisa lagi di dalam pemenuhannya tergantung pada Undang-undang atau Peraturan Pemerintahan yang berlaku di sebuah Negara, misalkan dibatasi dengan keberadaan oleh adanya UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA).
Apalagi air yang merupakan suatu kebutuhan pokok bagi masyarakat, serta merupakan suatu elemen yang terpenting bagi kelangsungan kehidupan manusia, suadah merupakan keharusan mendapatkan suatu proteksi yang memadahi bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan umat manusia. Dalam perspektif konsep hak asasi manusia (HAM) yang berlaku secara universal, di dalam keterkaitan hubungannya negara dengan warganya, dalam hal ini rakyat yang berkedudukan sebagai pemegang hak (right holder), kemudian di sisi lain negara berkedudukan sebagai pengemban kewajiban (duty holder) mengandung imperatif. Dan kemudian dimana kewajiban negara yang mendasar seharusnya adalah melindungi (proteksi) dan menjamin hak asasi warganya (rakyat), dalam hal itu dimana salah satunya adalah hak atas air – mengupayakan pemenuhan secara positip atau menjamin akses rakyat atas air yang sehat untuk segala kebutuhannya mulai dari urusan rumah tangga, urusan irigasi, urusan produksi lainnya.
Dengan demikian keberadaan air lebih dari sekadar cuma barang konsumsi; sebab air adalah barang sosial yang artinya rakyat disini bukan sekedar berkedudukan sebagai konsumen an sich, melainkan rakyat didudukkan lebih sebagai pemilik hak. Maka dengan sendirinya upaya apapun dari pihak negara ataupun kekuatan di luar negara untuk memperlakukan air sebagai barang komoditi ekonomik “harus kita tolak”.
Bahwasanya air merupakan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus menjadi tanggung-jawab pemerintah. Dan dengan demikian juga, bilamana pemerintah tidak sanggup mengelola perusahaan penyedia air untuk rakyat sebagaimana telah diamanatkan di dalam konstitusi maka sebenarnya yang harus diubah adalah cara-cara pengelolaannya bukan menjualnya ke pihak mitra strategis asing.
C. Islam dan lingkungan Hidup
Menurut An Nabhany dalam kitab An-Nidzam Al-Iqtishadiy Fiil Islam, kepemilikan umum adalah izin as Syari’ (Allah SWT) kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang dinyatakan oleh as Syari’ bahwa benda-benda tersebut adalah untuk suatu komunitas, dimana mereka masing-masing saling membutuhkan dan melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang. Pengertian ini didasarkan dari hadits nabi SAW : “Manusia itu berserikat dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput dan api (BBM, gas, listrik, dsb)”(HR. Abu Dawud)
Dari pengertian di atas, jelas bahwa Allah SWT telah menjadikan air untuk manusia (milik umum). Semua air yang ada di sungai, danau, laut ataupun air tanah yang berasal dari hujan bukanlah ciptaan manusia, melainkan ciptaan Allah. Air tersebut dapat langsung dipergunakan oleh manusia. Tugas manusia hanyalah membersihkan air, meningkatkan kualitasnya, melestarikan keberadaannya dan mendistribusikannya. Karena itu, air merupakan bahan baku yang diperuntukkan bagi manusia semuanya.
Karena air merupakan milik umum, sejatinya masyarakat memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan air yang memang merupakan bagian dari miliknya secara kolektif. Atas dasar paradigma inilah Islam menetapkan negara – yang mewakili rakyat – mengatur produksi dan distribusi air tersebut untuk rakyat. Negara tidak boleh memungut harga dari rakyat, karena air itu merupakan milik umum. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi produksi dan distribusi barang-barang tersebut, bukan untuk mengeruk keuntungan dari rakyat.
Sumber daya air mempunyai daya regenerasi dan asimiliasi yang terbatas, selama eksploitasi masih dibawah batas asimiliasi dan regenerasi maka akan dapat digunakan secara lestari. Tetapi jika telah melampaui maka, sumber daya itu akan mengalami kerusakan dan akan mengalami gangguan . Disamping itu air adalah penopang kehidupan manusia dan mahluk hidup lainya. Dalam sebuah ayat Al Qur’an ditegaskan:
Artinya: Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. (QS. Al Anbiyaa: 30).
Artinya: Dan kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu kami jadikan air itu menetap di bumi. (al Mu’minun: 18)
Melihat pada Kaidah-Kaidah Fiqh “Menolak Kemudaratan Lebih Utama Daripada Meraih Kemaslahatan ” akan jauh panggang dari api. Kebijakan pemerintah haruslah berorientasi pada kemaslahatan umat bukan mengikuti nafsunya keinginan keluarga atau kelompoknya. Hal ini sesuai dengan kaidah: “Kebijakan Seorang Pemimpin Terhadap Rakyatnya Bergantung Pada Kemaslahatan”.
Sebagai contoh, akibat dari privatisasi air menyebabkan lebih dari 9.000 KK di Serang Banten terancam kekurangan air baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk lahan sawah akibat dari pembangunan pembangunan pabrik air Danone. 100 hektar sawah yang subur di Padaricang untuk kemudian dikonversi menjadi sumur arthesis penghasil air. Akibatnya petani protes, dan kegiatan penyedotan air dihentikan pada September 2008.
Contoh lainnya adalah swastanisasi PAM DKI jaya yang justru menimbulkan banyak polemik. Mengeringnya beberapa daerah aliran sungai (DAS). Dari 470 DAS di seluruh Indonesia, dengan luasan area 3 juta hektar, pada 2008 sebanyak 64 DAS atau seluas 2,7 hektar berada dalam kondisi sangat kritis. Diprediksi, angka ini terus meningkat setiap tahun jika eksploitasi sumberdaya air terus berlangsung. .
Aplikasi atas UU No 7/2004 mengakibatkan komersialisasi atas air sebagai komoditas ekonomi akan lebih menonjol ketimbang nilai sosialnya (kemaslahatan). Sehingga masyarakat yang dicita-citakan oleh Undang-undang Dasar 1945 (dass sein) sebagai masyarakat yang adil makmur (welfare state) dalam kehidupan bangsa Indonesia yang merupakan masalah pokok sepanjang sejarah akan sulit tercapai .
Daftar Pustaka
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2002)
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2006)
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen kehakiman RI, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
Moh. Mahfud.MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999).
Mujiono Abdillah, FIKIH LINGKUNGAN: Panduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan, (Yogyakarta: AMP YKPN, 2005).
Yusuf Al Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2002).
http://unisri.ac.id/anita/wp-content/uploads/2009/03/ringk-pol-huk.doc. diakses pada 12 Desember 2009
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menggugat-penjajahan-sumberdaya-air-dengan-modus-privatisasi.htm
Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, editor Artidjo Alkostar dan Sholeh Amin, (Jakarta: Rajawali Press, 1896)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar